Si Pengajar Santri
Oleh: Lilis Risma Putri
Pukul tujuh.
Ari masih
mengayuh sepeda tuanya menuju ke sekolah. Jalanan begitu ramai. Dengan lihai ia
menerobos kemacetan yang terjadi. Ia tahu bahwa hari ini ia terlambat lagi.
Tapi apalah daya, lagi-lagi ia bangun kesiangan. Baginya keterlambatan tidak
begitu bermasalah. Yang penting ia bisa sampai di sekolah dan menuntut ilmu
seperti biasa.
“Kamu terlambat, Nak!” satpam sekolah menghadangnya di
pintu pagar.
“Saya tahu, Pak.” Sambil turun dari sepeda, Ari
menanggapi satpam berkumis tebal itu dengan kesal.
Pak satpam melihat jam hitam yang melingkar di tangannya
sambil menghitung-hitung. Lalu ia menoleh ke arah Ari yang diam membisu. “Belum
ada 5 menit, silakan masuk!” perintahnya kepada Ari.
Ari bergegas memarkirkan sepeda tuanya dan segera berlari
menuju ke kelas. Sampai di depan kelas ia berhenti lalu mengetuk pintu. Ia
terkejut, ternyata pelajaran pertama hari ini adalah biologi dan pastinya yang
mengajar adalah Pak Heri. Ia mengutuki dirinya sendiri. Pasti ia akan dihukum
berdiri di depan kelas selama pelajaran berlangsung, batinnya.
Seisi kelas menertawakannya, seiring dengan langkah
kakinya memasuki ruang kelas. Ia berdiri di depan Pak Heri yang dari tadi
menatapnya. “Kamu tahu kan, apa yang harus kamu lakukan?” tanya Pak Heri kepada
Ari.
“Saya tahu, Pak.” Jawabnya singkat.
Ia segera menaruh tasnya di meja yang kosong dan langsung
berdiri di depan kelas, tepatnya di sebelah kiri papan tulis. Suara ejekan pun
tak terhindarkan. Seluruh teman-teman menertawakannya.
“Sudah, diam!” sentak Pak Heri. “Mari kita lanjutkan
pelajaran,” sambungnya.
Andai saja hari ini aku tidak terlambat, setidaknya aku
bisa tidur di belakang sana. Batinnya, saat Pak Heri sedang menerangkan sistem
gerak manusia.
-0-
Jam pelajaran biologi pun selesai. Ari langsung duduk dan
mengeluarkan buku matematika. Setelah pelajaran biologi, jam berikutnya adalah
pelajaran matematika. Pak Totok sudah memasuki ruang kelas, Ari juga sudah
bersiap untuk tidur. Sudah menjadi kebiasaannya saat pembelajaran berlangsung.
Namun, tidak semua guru menyadarinya, sebab ia duduk di meja paling belakang.
Ia berharap tidurnya kali ini juga tidak ada yang tahu.
“Anak-anak, kali ini kita akan belajar mengenai
trigonometri,” Pak Totok mengawali pembelajaran matematika.
Di tengah-tengah pembelajaran, Pak Totok bertanya kepada
siswa. “Coba sederhanakan persamaan trigonometri yang Bapak tuliskan di papan
tulis.” Sambil menuliskan sebuah persamaan trigonometri. “Yang bisa mengerjakan
ini, akan saya beri nilai plus di rapor nanti,” tambahnya.
Seluruh siswa gaduh, segera mencari berbagai referensi
untuk mengerjakan soal dari Pak Totok. Namun tidak untuk Ari. Ia masih terlelap
dalam tidurnya. Ia benar-benar menemukan waktu yang paling tepat untuk tidur.
Pak
Totok mengelilingi tempat duduk siswa untuk mengecek sejauh mana siswanya
menyerap pelajaran yang ia berikan selama ini. Hingga ia sampai di meja
belakang dan menemukan sosok Ari yang tertidur lelap. Dalam benaknya ia sangat
marah dan ingin menghajar Ari sebelum ia terjaga. Namun tidak begitu
kenyataanya.
Ari
merasa dirinya tergoyang-goyang dan ia pun segera membuka mata. Pemandangan
wajah Pak Totok pun langsung terlihat jelas. Ia baru menyadari bahwa saat ini
sedang berlangsung pelajaran matematika. Tenang saja, aku sudah belajar tadi
malam, batinnya.
“Ari,
kerjakan soal di papan tulis. Sekarang!” bagai singa kelaparan yang bertemu
dengan mangsanya, hingga seluruh siswa mematung saat mendengar ia berbicara.
Tanpa
banyak kata, Ari segera mengambil spidol dan mencoretkan serentetan rumus untuk
mengerjakan soal yang diberikan Pak Totok. Hening. Tidak ada sepatah kata pun
yang terdengar. Hanya goresan spidol yang terasa mengiris hati para siswa.
Tegang, sudah pasti. Namun tidak untuk Ari. Seakan mendapat mainan baru, ia
begitu gembira. Namun bukan karena sentakan Pak Totok. Dan bukan karena soal di
hadapannya.
Belum
ada lima menit, Ari sudah meletakkan spidolnya dan segera kembali ke tempat
duduk. Ia berhasil menemukan jawabannya. Dan ia yakin bahwa jawabannya pasti
benar.
“Ari,
bukankah kamu tadi tidur?” Pak Totok merasa heran dengan Ari.
“Ya,
Pak, saya tadi tidur.” Ari mengakui kesalahan yang sudah menjadi kebiasaanya
itu.
“Lalu,
bagaimana kamu bisa mengerjakan soal ini?” Pak Totok terus menghujani
pertanyaan kepada Ari.
“Saya
sudah belajar tadi malam.” Jawabnya singkat.
“Siapa
yang mengajarimu?” Pak Totok tidak mau kalah. Seketika Ari menjadi pusat
perhatian seisi kelas.
“Saya
belajar sendiri.” Tegasnya.
Pak
Totok sedikit menjauh dari tempat duduk Ari menuju ke meja guru yang berada di
depan kelas. Ia kembali menatap Ari. “Sudah berapa kali kamu tidur di kelas?”
rupanya Pak Totok masih merasa penasaran dengan Ari.
“Berkali-kali,
Pak. Tapi sedikit guru yang tahu. Rata-rata mereka acuh tak acuh.” Seakan bosan
dengan pertanyaan Pak Totok, hingga ia tahu pertanyaan Pak Totok selanjutnya.
“Baiklah,
mungkin itu keberuntunganmu.” Sambil memegang jenggot panjangnya. “Kenapa kamu
sering tidur saat pembelajaran berlangsung? Apakah setiap malam kamu begadang?”
Ari mengira pembicaraan ini telah
selesai. Ternyata ia salah.
Sejenak
ia diam. Ia bingung mau menjawab dengan jujur atau tidak. Jika tidak, apa yang
harus ia katakan. Ia benar-benar bingung. “Ari, kamu dengar tidak?” seperti
disepelekan, rasanya Pak Totok ingin melempari Ari dengan spidol.
“Tiap
malam saya mengajar santri di pondok dekat rumah saya, Pak.” Akhirnya Ari
mengakui kebiasaannya di malam hari. “Saya melakukannya untuk membantu santri
dalam mengaji sekaligus untuk mencari uang. Biasanya saya selesai mengajar jam
10. Setelah itu saya masih belajar, paling tidak sampai jam 2.” Sambungnya
dengan nada santai.
Merasa
trenyuh, Pak Totok menundukkan kepalanya. Sama halnya dengan teman-temannya.
Mereka mengira sosok Ari ini adalah seorang pemalas dan tidak disiplin. Sering
terlambat dan sering tidur saat pembelajaran berlangsung. Namun ternyata di balik
penampilannya yang serba buruk, Ari rela mengorbankan waktu tidurnya untuk
mencari uang, dengan mengajar para santri.
“Baiklah, Ari, saya menghargai kamu. Yang penting
kamu bisa menguasai materi dan bisa mengerjakan soal-soal yang saya berikan.”
Ari merasa lega. Ia berpikir bahwa ia akan dilaporkan ke guru BK. “Dan kamu
juga berhak mendapatkan nilai plus di rapor dari saya.” Sambung Pak Totok.
Seluruh teman-teman memberikan tepuk tangan
kepadanya. Kini, ia tidak di cap lagi sebagai pemalas oleh teman-temannya.
Malah, teman-teman menghargainya dan segan kepadanya.
Sebenarnya ia tidak ingin ada yang tahu tentang
kebiasaannya itu. Banyak teman-teman yang menanyakan kepadanya sebelumnya.
Namun ia tidak pernah mau menjawabnya. Tapi, lambat laun semuanya akan
terbongkar seperti saat ini. Tidak apalah, yang penting aku tidak dikeluarkan
dari sekolah ini, gumamnya.
-00-
BIODATA PENULIS
Nama :
LILIS RISMA PUTRI
Tempat, Tanggal Lahir : WONOGIRI, 22 Februari 2002
Alamat :
Waru, 002/003, Ngandong, Eromoko, Wonogiri
Agama :
Islam
Orang tua :
Tukijan, Suyekti.
Sosmed:
•
FB :
Lilis Risma Putri
•
IG :
@lilisrp2002
•
WA :
085803438982
•
LINE :
@lilisrp2002
•
Twitter :
@lilisrp2002
•
GOOGLE+ :
Lilis Risma. Putri